"Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menyadari
kekurangan dan kesalahannya tanpa langsung menimpakannya kepada
bawahannya"
Dimasa negara-negara berperang di
Cina, negri Qin merupakan salah satu negara terkuat dari tujuh negara
yang ada di Cina. Qin saat itu dibawah kepemimpinan Raja Zheng atau Ying
Zheng yang kelak dikenal sebagai Qinshihuangdi. Dibawah
kepemimpinannya, negri Qin terus melakukan perluasan wilayah demi satu
tujuan yaitu mempersatukan Cina dan mengakhiri era negara-negara
berperang yang sudah berlangsung selama 500 tahun lamanya. Dalam
usahanya mempersatukan Cina, Raja Zheng tidak sendirian, beliau dibantu
oleh rekan-rekannya yang setia seperti Mentri Li Si yang membantunya
dalam urusan pemerintahan dan juga Jendral-jendral berbakar seperti Li
Xin, Wang Jian, Wang Ben, Meng Tian, Yang Duanhe, Teng, dsb yang
memimpin pasukan Qin di medan perang.
Pada tahun 225 SM
negri Qin sudah mencapai puncak kejayaannya dalam upaya mempersatukan
Cina. Perang penyatuan Cina sudah berlangsung selama 6 tahun lamanya dan
negri Qin sudah mengalahkan empat negara bagian di Cina. Kini Ying
Zheng sebagai Raja Qin memutuskan untuk menyerang negri terbesar dari
tujuh negara bagian Cina yaitu negri Chu. Chu adalah negri yang cukup
besar, wilayahnya membentang sepanjang lembah sungai Huai dan Yangzi ke
timur sampai mencapai laut. Walaupun dimasa Ying Zheng, Chu sudah bukan
lagi kekuatan besar namun potensi kekuatan Chu tetap tidak boleh
diremehkan sebab Chu masih memiliki Jendral kenamaan seperti Xiang Yan
dan kekuatan militer Chu masih dipandang mampu menciptakan peperangan
panjang melawan negri Qin. Apabila Qin sampai terjebak dalam perang yang
berlarut-larut maka Qin akan menghadapi resiko pemberontakan dari
negara-negara bagian yang ditaklukannya sebab wilayah-wilayah taklukan
Qin belum sepenuhnya stabil. Untuk keperluan itu, Ying Zheng memanggil
dua orang jendral terbaiknya yaitu Li Xin dan Wang Jian untuk
mendiskusikan perihal penyerangan ke negri Chu. Sebagaimana kebiasaan di
negri Qin bahwa setiap keputusan yang hendak diambil harus melalui
mekanisme diskusi terlebih dahulu sebelum Raja mengambil keputusan
terakhir setelah mendengar pendapat-pendapat yang disampaikan kepadanya.
Ying Zheng mula-mula bertanya kepada Li Xin perihal berapa jumlah
pasukan yang diperlukan untuk menaklukan Chu. Li Xin dengan percaya diri
menjawab bahwa dua ratus ribu pasukan sudah cukup
untuk menaklukan Chu. Li Xin memang bukan jendral sembarangan. Kiprahnya
dalam perang penyatuan Cina sudah cukup dikenal khususnya ketika
dirinya memimpin pasukan Qin menyerbu negri Yan dimana Li Xin berhasil
memaksa Raja Xi dari Yan menyerahkan kepala putra mahkotanya "Yan Dan"
yang telah merencanakan pembunuhan terhadap Ying Zheng. Namun Ying Zheng
merasa kurang yakin dengan jawaban Li Xin kemudian bertanya kepada Wang
Jian pertanyaan yang sama dengan yang disampaikannya kepada Li Xin.
Wang Jian adalah jendral senior, ia memahami betul situasi antara Qin
dan Chu dimana Chu merupakan kekuatan yang sanggup menandingi Qin.
Selain itu, Wang Jian juga memahami bahwa peperangan dengan Chu harus
diselesaikan secepat mungkin untuk mencegah melemahnya stabilitas dalam
negri akibat peperangan yang berlarut-larut. Atas pertimbangan tersebut,
Wang Jian menyatakan bahwa untuk menaklukan negri Chu diperlukan Enam Ratus Ribu Pasukan.
Kali ini Ying Zheng terkejut. Enam Ratus Ribu pasukan yang diminta oleh
Wang Jian sama artinya dengan hampir keseluruhan pasukan dari negri
Qin. Kali ini Ying Zheng justru curiga bahwa jumlah yang sangat banyak
itu akan digunanakan oleh Wang Jian untuk memberontak melawan negri Qin.
Atas dasar kecurigaan itu, Ying Zheng lalu memilih rencana dari Li Xin
dan mempercayakan dua ratus ribu pasukan Qin kepadanya. Li Xin kemudian
diposisikan sebagai panglima pasukan Qin dalam penyerbuan ke Chu
sementara Meng Wu dijadikan sebagai wakilnya. Wang Jian merasa dirinya
tidak diperlukan lagi lalu mengajukan pensiun dan pulang ke kampung
halamannya di Pinyang.
Jadilah Li Xin bersama Meng Wu berangkat dengan dua ratus ribu
pasukan Qin untuk menyerbu negri Chu. Pada permulaannya, pasukan Li Xin
memang berhasil meraih kemenangan dan menaklukan banyak wilayah di negri
Chu. Namun tanpa mereka sadari, Chu ternyata memasang jebakan. Pasukan
Chu dibawah Bangsawan Changping menyerbu wilayah Qin sehingga memaksa Li
Xin menarik mundur pasukannya untuk menyelamatkan negrinya sendiri
namun gerakan mundur pasukan Qin ternyata sudah disadari sejak awal oleh
pasukan Chu sehingga pasukan Chu lalu mengejar dan menghancurkan
pasukan Qin yang tengah kelelahan akibat penarikan mundur tersebut. Qin
kehilangan tujuh orang jendral dalam pasukannya dan pasukan Qin sendiri
mengalami kerusakan yang sangat parah. Peperangan tersebut dapat
dikategorikan sebagai peristiwa terburuk dalam sejarah Qin yang berusaha
mempersatukan Cina. Li Xin akhirnya menghadap ke Ying Zheng dengan
membawa berita kekalahan tersebut. Ying Zheng yang berharap menerima
berita kemenangan memang pada awalnya marah besar setelah mendengar
kekalahan pasukan pimpinan Li Xin. Namun Ying Zheng tidak lantas
menggunakan kekuasaannya untuk memecat atau menghukum Li Xin atas
kegagalannya. Sebaliknya, Ying Zheng justru merenungkan baik-baik apa
yang menjadi penyebab kegagalan pasukan Qin pimpinan Li Xin dalam
penyerangan ke negri Chu. Ying Zheng kemudian menyadari bahwa dirinyalah
yang menyebabkan kegagalan tersebut. Ying Zheng menyadari bahwa dirinya
tidak mengetahui seluk beluk negri Chu namun tetap mempercayakan dua
ratus ribu pasukan kepada Li Xin dan akibatnya wajar saja pasukan Qin
mengalami kekalahan telak sebab Chu memang bukanlah lawan yang dapat
diremehkan. Ying Zheng kemudian menyesal karena dirinya tidak
mempercayai saran dari Wang Jian namun dirinya bertekad untuk tetap
meneruskan peperangan. Apalagi pasukan Chu sudah meringsek masuk ke
dalam wilayah Qin. Ying Zheng, walaupun seorang Raja dari negri Qin yang
memiliki kedudukan besar namun tetap saja menyadari kekurangan dan
kesalahannya lantas rela harus merendah dihadapan jendralnya sendiri. Ia
kemudian mengunjungi kediaman Wang Jian untuk meminta maaf dan
memintanya untuk memimpin pasukan Qin melawan negri Chu. Wang Jian
sendiri tetap bersikukuh bahwa enam ratus ribu pasukan
adalah jumlah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ying Zheng yang
menyadari kesalahannya lantas langsung mengabulkan permintaan dari Wang
Jian dan jadilah, Wang Jian memimpin pasukan Qin menghadapi negri Chu.
Saran enam ratus ribu pasukan
yang diajukan Wang Jian sebenarnya adalah sesuatu hal yang wajar. Wang
Jian menyadari bahwa negri Chu adalah negri yang sangat kuat. Ibarat Kelabang Tua,
Chu tidak dapat dibunuh dengan mudah walau sudah diinjak berkali-kali.
Karenanya untuk mengalahkan Chu, Qin harus mengerahkan pasukan dalam
jumlah besar untuk memberantas negri Chu dan menghapuskannya dari peta
sejarah sehingga Chu tidak akan pernah mampu untuk bangkit kembali. Wang
Jian sendiri meminta kepada Ying Zheng apabila dirinya berhasil
menaklukan negri Chu, maka dirinya dianugerahi tanah garapan untuk
diwariskan kepada keturunannya kelak. Ying Zheng tertawa mendengar
permintaan Wang Jian, namun tetap memenuhi permintaannya tersebut
sebagaimana tradisi Legalisme bahwa mereka yang meraih keberhasilan maka layak diberikan Hadiah sementara mereka yang melanggar aturan maka harus dihukum seberat-beratnya. Berbekal enam ratus ribu pasukan,
Wang Jian kemudian menyerbu kembali pasukan Chu. Ia sengaja menggunakan
strategi untuk mengulur-ngulur waktu agar semangat pasukan Chu semakin
melemah akibat perang yang berkepanjangan, sementara untuk memompa
semangat pasukannya, Wang Jian sengaja membiarkan pasukan Qin untuk
beristirahat dan bersenang-senang di dalam bentengnya. Setelah pasukan
Chu mengalami penurunan moril bertempur, Wang Jian kemudian menyerbu
pasukan Chu habis-habisan. Pasukan Chu yang sudah kelelahan dan
kehilangan semangat bertempur dengan mudah diberantas habis oleh pasukan
Qin. Bahkan Jendral Xiang Yan yang memimpin pasukan Chu juga berhasil
dibunuh oleh pasukan Qin. Tahun 223 SM, Qin kemudian menyerbu ibukota
Chu "Shouchun" dan menangkap Raja Fuchu dari Chu. Sisa-sisa dari negri
Chu lalu melarikan diri dan mengangkat bangsawan Changping sebagai Raja
di wilayah Wu. Namun tidak berselang lama pasukan Qin dibawah Meng Wu
menyerang dan menghancurkan Wu dan menamatkan riwayat negri Chu untuk
selama-lamanya.
Kisah penaklukan negri Qin atas Chu
memiliki suatu gambaran yang menarik khususnya bagaimana seorang
pemimpin bersikap terhadap bawahannya. Dalam hal ini Ying Zheng, Raja
Qin yang kelak dikenal sebagai Qinshihuangdi tidak bersikap arogan dan
menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang dan justru memerintah
dengan bijaksana. Kebijaksanaan Ying Zheng tercermin tidak hanya dari
bagaimana dirinya mengajak pilar-pilar pendukungnya untuk berdiskusi
sebelum memutuskan sesuatu namun juga kemampuan dirinya untuk menyadari
kesalahan dan kekurangan dirinya. Ying Zheng sadar betul bahwa dirinya
melakukan kesalahan besar ketika mempercayakan dua ratus ribu pasukan kepada Li Xin hanya karena curiga dengan permintaan dari Wang Jian mengenai enam ratus ribu pasukan.
Sikapnya itu lalu mengantarkan Qin menuju bencana besar yaitu kekalahan
dalam invasi pertama ke Chu. Dengan menyadari kesalahan yang
diperbuatnya, Ying Zheng tidak lantas menghukum Li Xin hanya karena
gagal menjalankan tugasnya sebab Ying Zheng memahami bahwa kegagalan Li
Xin juga merupakan kesalahan dirinya sebagai pemimpin tertinggi negri
Qin. Bahkan sebagai seorang Raja, Ying Zheng rela mendatangi kediaman
Wang Jian untuk meminta maaf atas kecurigaannya yang berlebihan dan
meminta Wang Jian untuk memimpin pasukan Qin melawan serangan balik dari
negri Chu. Bahkan atas keberhasilan Wang Jian sesuai tradisi Legalisme
Ying Zheng menghargainya dengan memberikannya tanah garapan. Nasib Li
Xin sendiri juga cukup baik. Li Xin tetap menjadi jendral dari negri Qin
yang setia dan bahkan oleh Ying Zheng kemudian dikirim untuk menaklukan
negri Qi yang menjadi musuh terakhir dari negri Qin berhasil membawa
kemenangan. Dengan sikap yang adil dan bijaksana tersebut tidak heran
bahwa Ying Zheng mampu menjadi Kaisar Pertama Cina (Qinshihuangdi) dan
mengantarkan Cina untuk pertama kalinya ke dalam masa-masa persatuan dan
kedamaian.
Sumber: Qin "Kaisar Terakota" (Michael Wicaksono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar