Sabtu, 08 April 2017

Rencana Kekaisaran Jerman untuk Menginvasi Amerika Serikat

Suatu hal yang jarang diketahui oleh banyak orang adalah bahwa Jerman sebelum Perang Dunia I pernah memiliki rencana untuk menginvasi Amerika Serikat. Rencana ini tidak pernah dibuka ke publik sebelumnya hingga ditemukan pada tahun 2002 di arsip militer Jerman di Freiburg. Rencana ini dibuat pada masa pemerintahan Kaisar Wilhelm II namun sebelum Perang Dunia I pecah. Sekitar tahun 1897-1903, Jerman setidaknya sudah membuat beberapa rencana invasi atas Amerika Serikat. Invasi ini tidak diperuntukan untuk menguasai Amerika Serikat namun untuk melemahkan Amerika Serikat dan memaksa negara tersebut untuk berunding dalam keadaan terlemah mereka dan membangun pengaruh Jerman di benua Amerika. Bagaimanakah kronologis rencana tersebut?

I. Kebangkitan Jerman dan Ambisi Wilhelm II di Amerika
Pada abad 19 Jerman menjadi kekuatan besar di Eropa berkat usaha Otto von Bismarck yang dalam serangkaian pertempuran menjadikan Prusia sebagai kekuatan dominan dan akhirnya menyatukan dan membentuk Kekaisaran Jerman Bersatu (tanpa Austria) pada tahun 1871. Dalam politiknya, Bismarck mengadopsi kebijakan realpolitik dimana Jerman dimaksudkan sebagai mediator bagi negara-negara Eropa lainnya. Namun ketika Wilhelm II naik tahta, kebijakan Jerman berubah menjadi weatpolitik yang lebih bernuasa nasionalistik dimana tujuannya menjadikan Jerman menjadi salah satu kekuatan dunia yang diikuti dengan pengembangan kekuatan militer Jerman. Dengan semakin menguatnya kekuatan Jerman, Wilhelm II kemudian melirik benua Amerika. Mentri Luar Negri Jerman Bernhard von Bulow juga sudah menandakan bahwa Jerman memandang 3 negara sebagai rivalnya dalam upaya meraih dominasi yaitu Inggris, Prancis dan Amerika. Amerika Serikat pada masa itu merupakan negara dengan kekuatan ekonomi yang sedang bertumbuh pesat dan pengaruhnya melebar ke kawasan pasifik dan Amerika Latin. Hal ini menjadikan Jerman melihat Amerika Serikat sebagai rival yang potensial. Kaisar Wilhelm II berimpian untuk menggantikan pengaruh Amerika Serikat dengan pengaruh Jerman. Karenanya Kaisar Wilhelm II mulai melirik negara-negara dikawasan Karibia. Menurutnya dengan membangun pangkalan di kawasan karibia (Kuba atau Puerto Rico), Jerman akan memiliki basis yang cukup untuk mengcounter pengaruh Amerika di Terusan Panama yang sedang dibangun. Rencana ini sekaligus langkah pertama untuk realisasi cita-cita Wilhelm II untuk melebarkan pengaruh Jerman ke Amerika.
II. Dokrin Monroe dan Rencana Pertama Jerman
Namun cita-cita Kaisar Wilhelm II tersebut terbentur oleh kebijakan luar negri Amerika Serikat terhadap negara-negara di benua Amerika. Kebijakan tersebut dikenal dengan nama “Dokrin Monroe” yang dikeluarkan oleh Presiden James Monroe dengan tujuan menghadang kolonialisme Eropa di benua Amerika. Sesuai dokrin Monroe, Amerika Serikat mengancam kekuatan Eropa untuk tidak sekali-kali berusaha membangun pengaruh mereka di benua Amerika baik melalui kolonialisme langsung ataupun membangun pemerintahan boneka. Kebijakan ini berkaitan dengan kekhawatiran AS dan juga Inggris akan kemungkinan kekuatan kontinental Eropa seperti Spanyol untk kembali menancapkan pengaruh kolonialismenya atas Amerika Latin dan juga kekhawatiran akan ambisi Rusia terhadap Pantai Barat Laut Amerika Utara. Adanya dokrin Monroe ini membuat Jerman terpaksa harus berhadapan dengan Amerika Serikat jika ingin membanugun pengaruh di kawasan Amerika.
Kaisar Wilhelm II lalu memerintahkan militer Jerman untuk membuat rencana untuk menghadapi Amerika Serikat. Militer Jerman lalu datang dengan rencana pertama yaitu untuk menghantam kekuatan laut Amerika Serikat dan kemudian memblokade Amerika Serikat. Rencana ini dibuat mengingat Jerman saat itu sedang giat-giatnya membangun kekuatan lautnya dibawah komando Admiral von Tirpitz. Eberhard von Mantey , Letnan Angkatan Laut Jerman saat itu mengajukan rencana untuk menyerang AL Amerika Serikat dikawasan Pantai Timur untuk memberi akses terhadap rencana pembangunan pangkalan Jerman di Karibia. Rencananya Angkatan Laut Kekaisaran Jerman ( Kaiserliche Marine ) akan menghancurkan Armada Atlantik Amerika Serikat lalu menyerang pelabuhan Norfolk-Virginia dan kekuatan-kekuatan laut AS lainnya di sekitar Hampston Roads-Virginia. Von Mantey yakin bahwa ini adalah titik vital dalam pertahanan Amerika Serikat sehingga ketika sudah dilumpuhkan maka Jerman akan dapat melancarkan blokade terhadap Amerika Serikat. Pada saat itulah tim negoisator Jerman akan dikirim dan memaksa Amerika Serikat untuk menyetujui semua tuntutan yang diberikan Jerman. Namun rencana ini dirasa cukup sulit untuk dilaksanakan dan Kaisar Wilhelm II pun juga menemukan kesulitan untuk mendanai proyek besar pembangunan kapal-kapal perang untuk keperluan tersebut. Rencana tersebut kemudian ditunda atau dialihkan untuk membangun kapal-kapal penjelajah guna mendukung rencana tersebut.
Perang Spanyol-Amerika kemudian pecah pada tahun 1898 dengan aksi AL Amerika Serikat di Pasifik dan Karibia. Jerman mencoba memprovokasi Amerika Serikat di teluk Manila dengan menembakan tembakan peringatan dari delapan kapal Jerman terhadap posisi Amerika Serikat namun tidak sampai menimbulkan kerusakan. Jerman berharap Amerika Serikat akan dikalahkan oleh perang gerilya di Filipina sehingga Jerman mengubah strateginya dari perang langsung menjadi memberikan dukungan suplai kepada gerilyawan. Namun sayangnya, Amerika Serikat berhasil memenangkan perang pada tahun 1899 dan menguasai Guam, Hawaii dan Filipina di Pasifik serta menguasai Puerto Rico di Karibia. Dukungan Amerika Serikat terhadap kemerdekaan Kuba jga menjadikan Kuba sebagai wilayah dibawah pengaruh ekonomi Amerika Serikat. Rencana Jerman membangun pangkalan di Karibia pun harus kandas.
III. Rencana Kedua Jerman terhadap Amerika Serikat
Jerman tidak menyerah sampai disitu saja. Amerika Serikat boleh memenangkan perang melawan Spanyol dan membuat rencana Jerman di karibia kandas namun ambisi Jerman tetap tidak tergoyahkan. Kaisar Wilhelm II lalu memerintahkan von Mantey untuk merevisi rencana perang terhadap Amerika Serikat ditahun 1899. Kini Jerman berencana untuk melancarkan sebuah rencana yang lebih ambisius dari yang pertama yaitu serangan terhadap tanah Amerika Serikat secara langsung. Satu-satunya serangan asing terhadap Negara Amerika Serikat terjadi ditahun 1812 saat Amerika Serikat berperang dengan Inggris Raya dimana pasukan Inggris berhasil memasuki Amerika Serikat dan membakar ibukota Washington DC. Jerman berencana untuk berbuat hal yang sama dengan Inggris yaitu menginvasi Amerika Serikat secara langsung.
Rencana invasi ini adalah untuk menduduki Boston dan New York. Diperlukan sekitar 60 Kapal Perang, 60 Kapal Kargo untuk keperluan suplai yang membawa 75.000 ton batu bara, dan juga 60 kapal pengangkut pasukan yang akan menggangkut 100.000 tentara lengkap dengan perlengkapannya. Invasi ini akan berjalan setidaknya 25 hari menyebrangi Atlantik. Rencana ini akan dimulai dengan pertempuran laut untuk merebut supremasi laut atas AL Amerika Serikat yang dilanjutkan dengan pendaratan pasukan Jerman di Cape Cod lengkap dengan Artillerynya. Pasukan ini kemudian bergerak ke Boston dan menembaki kota tersebut dengan tembakan Artillery. Serangan terhadap New York memerlukan mobilitas tinggi untuk dapat sukses dimulai dengan pendaratan pasukan Jerman di pulau Sandy Hook, New Jersey yang diikuti dengan angkatan laut yang bertugas melumpuhkan pertahanan di pelabuhan-pelabuhan sekitar terutama Fort Hamilton dan Fort Tompkins. Setelahnya, kapal-kapal perang Jerman akan bergerak ke Manhattan dan menembaki area sekitar Manhattan dan New York untuk menimbulkan kepanikan diantara penduduk sipil Amerika Serikat.
Kaisar Wilhelm II pada tahun 1901 tiba-tiba menyatakan bahwa rencana tersebut lebih baik dijalankan dari Kuba daripada berlayar dari Jerman langsung, namun para staff militer Jerman mengingatkan Kaisar bahwa untuk melakukan hal tersebut diperlukan pangkalan terlebih dahulu di Kuba. Admiral Otto von Diederichs menyatakan kepada Kaisar bahwa Angkatan Laut Jerman saat itu sudah lebih kuat dari Angkatan Laut Amerika Serikat dan keberhasilan rencana itu tergantung pada kesanggupan Angkatan Darat untuk melaksanakannya. Jendral Alfred von Schlieffen (yang terkenal dengan rencana Shlieffennya) ragu bahwa rencana tersebut akan berhasil. Ia menyatakan bahwa 100.000 prajurit mungkin cukup jika hanya menaklukan Boston namun untuk menaklukan New York dengan populasi lebih dari 3 juta jiwa dibutuhkan lebih dari 100.000 prajurit. Von Diederichs pun menyetujui pandangan von Schlieffen dan menyatakan kepada Kaisar bahwa Angkatan Laut Jerman tidak memiliki cukup kapal untuk mengangkut 100.000 prajurit lengkap dengan persenjataannya. Rencana tersebut pun kandas.
IV. Rencana III dan Final
Pada rencana ketiga ini, Jerman melalui perwira Staff Angkatan Lautnya Wilhelm von Büchsel , memberi perubahan sedikit pada rencana sebelumnya. Rencana ini disebut Operationsplan III mempertimbangkan pula kondisi politik global. Untuk mendapatkan keuntungan secara politik, Jerman berencana membangun pangkalan di Culebra, Puerto Rico untuk mengancam Terusan Panama. Von Mantey menulis dalam diarinya “Pantai Timur merupakan jantung bagi Amerika Serikat dan disanalah dia paling rentan. New York akan menjadi panik dengan kemungkinan pengeboman dan dengan menghantamnya kita bisa memaksa Amerika Serikat untuk bernegoisasi”.
V. Syarat-syarat keberhasilan dan hasil akhir
Untuk memenuhi rencana tersebut, terdapat syarat-syarat yang dirasa perlu dipertimbangkan. Setidaknya ada dua syarat yang bisa menjadi pertimbangan terhadap kesuksesan rencana Jerman terhadap Amerika Serikat:
1. Ketidaksiapan Amerika Serikat
2. Tidak adanya Konflik Besar di Eropa
Hal pertama, Amerika Serikat justru sedang membangun kekuatan mereka khususnya sejak kemenangan Amerika Serikat dalam Perang Spanyol-Amerika. Amerika Serikat justru membuktikan bahwa mereka siap untuk berhadapan dengan kekuatan manapun yang berupaya untuk menganggu kepentingan mereka. Amerika Serikat mulai membangun banyak kapal perang dan perbandingan kekuatannya semakin menjauh dari kekuatan Angkatan Laut Jerman. Ditambah lagi Inggris sebagai negara dengan Angkatan Laut terkuat di dunia juga semakin mengembangkan kekuatan lautnya membuat tekanan besar bagi Angkatan Laut Jerman yang semakin jauh dari kekuatan Angkatan Laut Inggris maupun kekuatan laut Jerman yang dibutuhkan dalam rencana invasi ke Amerika Serikat. Krisis Venezuela pada tahun 1902-1903 juga menunjukan bahwa Amerika Serikat mampu menggunakan kekuatan mereka khususnya Angkatan laut untuk memaksakan pandangan mereka atas politik dunia. Krisis tersebut juga menambahkan pandangan Roosevelt Corollary dari Presiden Theodore Roosevelt terhadap Dokrin Monroe dimana Amerika Serikat bisa terlibat dalam konflik antara negara-negara Amerika Latin dan kekuatan Eropa (suatu kebijakan yang mengarah kepada status Amerika Serikat sebagai polisi dunia).
Sementara dalam syarat kedua, sejak tahun 1904 ketegangan di Eropa meningkat menyusul ditandatanginya Entente Cordiale antara Inggris Raya dan Prancis. Jerman secara mendadak memiliki hal lain yang harus dipertimbangkan bahkan lebih dari ambisi untuk membangun pengaruh di Amerika karena ancaman jelas ada di depan gerbang mereka sendiri. Penolakan Tsar Nicholas II dari Rusia untuk beraliansi dengan Jerman akhirnya membuat Jerman harus berkonsentrasi terhadap penguatan kekuatan militer mereka untuk menghadapi potensi konflik di Eropa di masa mendatang (Perang Dunia I). Akhirnya rencana invasi ke Amerika Serikat dibatalkan pada tahun 1906.

200.000 vs 600.000

"Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menyadari kekurangan dan kesalahannya tanpa langsung menimpakannya kepada bawahannya"

Dimasa negara-negara berperang di Cina, negri Qin merupakan salah satu negara terkuat dari tujuh negara yang ada di Cina. Qin saat itu dibawah kepemimpinan Raja Zheng atau Ying Zheng yang kelak dikenal sebagai Qinshihuangdi. Dibawah kepemimpinannya, negri Qin terus melakukan perluasan wilayah demi satu tujuan yaitu mempersatukan Cina dan mengakhiri era negara-negara berperang yang sudah berlangsung selama 500 tahun lamanya. Dalam usahanya mempersatukan Cina, Raja Zheng tidak sendirian, beliau dibantu oleh rekan-rekannya yang setia seperti Mentri Li Si yang membantunya dalam urusan pemerintahan dan juga Jendral-jendral berbakar seperti Li Xin, Wang Jian, Wang Ben, Meng Tian, Yang Duanhe, Teng, dsb yang memimpin pasukan Qin di medan perang.

Pada tahun 225 SM negri Qin sudah mencapai puncak kejayaannya dalam upaya mempersatukan Cina. Perang penyatuan Cina sudah berlangsung selama 6 tahun lamanya dan negri Qin sudah mengalahkan empat negara bagian di Cina. Kini Ying Zheng sebagai Raja Qin memutuskan untuk menyerang negri terbesar dari tujuh negara bagian Cina yaitu negri Chu. Chu adalah negri yang cukup besar, wilayahnya membentang sepanjang lembah sungai Huai dan Yangzi ke timur sampai mencapai laut. Walaupun dimasa Ying Zheng, Chu sudah bukan lagi kekuatan besar namun potensi kekuatan Chu tetap tidak boleh diremehkan sebab Chu masih memiliki Jendral kenamaan seperti Xiang Yan dan kekuatan militer Chu masih dipandang mampu menciptakan peperangan panjang melawan negri Qin. Apabila Qin sampai terjebak dalam perang yang berlarut-larut maka Qin akan menghadapi resiko pemberontakan dari negara-negara bagian yang ditaklukannya sebab wilayah-wilayah taklukan Qin belum sepenuhnya stabil. Untuk keperluan itu, Ying Zheng memanggil dua orang jendral terbaiknya yaitu Li Xin dan Wang Jian untuk mendiskusikan perihal penyerangan ke negri Chu. Sebagaimana kebiasaan di negri Qin bahwa setiap keputusan yang hendak diambil harus melalui mekanisme diskusi terlebih dahulu sebelum Raja mengambil keputusan terakhir setelah mendengar pendapat-pendapat yang disampaikan kepadanya. Ying Zheng mula-mula bertanya kepada Li Xin perihal berapa jumlah pasukan yang diperlukan untuk menaklukan Chu. Li Xin dengan percaya diri menjawab bahwa dua ratus ribu pasukan sudah cukup untuk menaklukan Chu. Li Xin memang bukan jendral sembarangan. Kiprahnya dalam perang penyatuan Cina sudah cukup dikenal khususnya ketika dirinya memimpin pasukan Qin menyerbu negri Yan dimana Li Xin berhasil memaksa Raja Xi dari Yan menyerahkan kepala putra mahkotanya "Yan Dan" yang telah merencanakan pembunuhan terhadap Ying Zheng. Namun Ying Zheng merasa kurang yakin dengan jawaban Li Xin kemudian bertanya kepada Wang Jian pertanyaan yang sama dengan yang disampaikannya kepada Li Xin. Wang Jian adalah jendral senior, ia memahami betul situasi antara Qin dan Chu dimana Chu merupakan kekuatan yang sanggup menandingi Qin. Selain itu, Wang Jian juga memahami bahwa peperangan dengan Chu harus diselesaikan secepat mungkin untuk mencegah melemahnya stabilitas dalam negri akibat peperangan yang berlarut-larut. Atas pertimbangan tersebut, Wang Jian menyatakan bahwa untuk menaklukan negri Chu diperlukan Enam Ratus Ribu Pasukan. Kali ini Ying Zheng terkejut. Enam Ratus Ribu pasukan yang diminta oleh Wang Jian sama artinya dengan hampir keseluruhan pasukan dari negri Qin. Kali ini Ying Zheng justru curiga bahwa jumlah yang sangat banyak itu akan digunanakan oleh Wang Jian untuk memberontak melawan negri Qin. Atas dasar kecurigaan itu, Ying Zheng lalu memilih rencana dari Li Xin dan mempercayakan dua ratus ribu pasukan Qin kepadanya. Li Xin kemudian diposisikan sebagai panglima pasukan Qin dalam penyerbuan ke Chu sementara Meng Wu dijadikan sebagai wakilnya. Wang Jian merasa dirinya tidak diperlukan lagi lalu mengajukan pensiun dan pulang ke kampung halamannya di Pinyang.

Jadilah Li Xin bersama Meng Wu berangkat dengan dua ratus ribu pasukan Qin untuk menyerbu negri Chu. Pada permulaannya, pasukan Li Xin memang berhasil meraih kemenangan dan menaklukan banyak wilayah di negri Chu. Namun tanpa mereka sadari, Chu ternyata memasang jebakan. Pasukan Chu dibawah Bangsawan Changping menyerbu wilayah Qin sehingga memaksa Li Xin menarik mundur pasukannya untuk menyelamatkan negrinya sendiri namun gerakan mundur pasukan Qin ternyata sudah disadari sejak awal oleh pasukan Chu sehingga pasukan Chu lalu mengejar dan menghancurkan pasukan Qin yang tengah kelelahan akibat penarikan mundur tersebut. Qin kehilangan tujuh orang jendral dalam pasukannya dan pasukan Qin sendiri mengalami kerusakan yang sangat parah. Peperangan tersebut dapat dikategorikan sebagai peristiwa terburuk dalam sejarah Qin yang berusaha mempersatukan Cina. Li Xin akhirnya menghadap ke Ying Zheng dengan membawa berita kekalahan tersebut. Ying Zheng yang berharap menerima berita kemenangan memang pada awalnya marah besar setelah mendengar kekalahan pasukan pimpinan Li Xin. Namun Ying Zheng tidak lantas menggunakan kekuasaannya untuk memecat atau menghukum Li Xin atas kegagalannya. Sebaliknya, Ying Zheng justru merenungkan baik-baik apa yang  menjadi penyebab kegagalan pasukan Qin pimpinan Li Xin dalam penyerangan ke negri Chu. Ying Zheng kemudian menyadari bahwa dirinyalah yang menyebabkan kegagalan tersebut. Ying Zheng menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui seluk beluk negri Chu namun tetap mempercayakan dua ratus ribu pasukan kepada Li Xin dan akibatnya wajar saja pasukan Qin mengalami kekalahan telak sebab Chu memang bukanlah lawan yang dapat diremehkan. Ying Zheng kemudian menyesal karena dirinya tidak mempercayai saran dari Wang Jian namun dirinya bertekad untuk tetap meneruskan peperangan. Apalagi pasukan Chu sudah meringsek masuk ke dalam wilayah Qin. Ying Zheng, walaupun seorang Raja dari negri Qin yang memiliki kedudukan besar namun tetap saja menyadari kekurangan dan kesalahannya lantas rela harus merendah dihadapan jendralnya sendiri. Ia kemudian mengunjungi kediaman Wang Jian untuk meminta maaf dan memintanya untuk memimpin pasukan Qin melawan negri Chu. Wang Jian sendiri tetap bersikukuh bahwa enam ratus ribu pasukan adalah jumlah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ying Zheng yang menyadari kesalahannya lantas langsung mengabulkan permintaan dari Wang Jian dan jadilah, Wang Jian memimpin pasukan Qin menghadapi negri Chu.

Saran enam ratus ribu pasukan yang diajukan Wang Jian sebenarnya adalah sesuatu hal yang wajar. Wang Jian menyadari bahwa negri Chu adalah negri yang  sangat kuat. Ibarat Kelabang Tua, Chu tidak dapat dibunuh dengan mudah walau sudah diinjak berkali-kali. Karenanya untuk mengalahkan Chu, Qin harus mengerahkan pasukan dalam jumlah besar untuk memberantas negri Chu dan menghapuskannya dari peta sejarah sehingga Chu tidak akan pernah mampu untuk bangkit kembali. Wang Jian sendiri meminta kepada Ying Zheng apabila dirinya berhasil menaklukan negri Chu, maka dirinya dianugerahi tanah garapan untuk diwariskan kepada keturunannya kelak. Ying Zheng tertawa mendengar permintaan Wang Jian, namun tetap memenuhi permintaannya tersebut sebagaimana tradisi Legalisme bahwa mereka yang meraih keberhasilan maka layak diberikan Hadiah sementara mereka yang melanggar aturan maka harus dihukum seberat-beratnya. Berbekal enam ratus ribu pasukan, Wang Jian kemudian menyerbu kembali pasukan Chu. Ia sengaja menggunakan strategi untuk mengulur-ngulur waktu agar semangat pasukan Chu semakin melemah akibat perang yang berkepanjangan, sementara untuk memompa semangat pasukannya, Wang Jian sengaja membiarkan pasukan Qin untuk beristirahat dan bersenang-senang di dalam bentengnya. Setelah pasukan Chu mengalami penurunan moril bertempur, Wang Jian kemudian menyerbu pasukan Chu habis-habisan. Pasukan Chu yang sudah kelelahan dan kehilangan semangat bertempur dengan mudah diberantas habis oleh pasukan Qin. Bahkan Jendral Xiang Yan yang memimpin pasukan Chu juga berhasil dibunuh oleh pasukan Qin. Tahun 223 SM, Qin kemudian menyerbu ibukota Chu "Shouchun" dan menangkap Raja Fuchu dari Chu.  Sisa-sisa dari negri Chu lalu melarikan diri dan mengangkat bangsawan Changping sebagai Raja di wilayah Wu. Namun tidak berselang lama pasukan Qin dibawah Meng Wu menyerang dan menghancurkan Wu dan menamatkan riwayat negri Chu untuk selama-lamanya.

Kisah penaklukan negri Qin atas Chu memiliki suatu gambaran yang menarik khususnya bagaimana seorang pemimpin bersikap terhadap bawahannya. Dalam hal ini Ying Zheng, Raja Qin yang kelak dikenal sebagai Qinshihuangdi tidak bersikap arogan dan menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang dan justru memerintah dengan bijaksana. Kebijaksanaan Ying Zheng tercermin tidak hanya dari bagaimana dirinya mengajak pilar-pilar pendukungnya untuk berdiskusi sebelum memutuskan sesuatu namun juga kemampuan dirinya untuk menyadari kesalahan dan kekurangan dirinya. Ying Zheng sadar betul bahwa dirinya melakukan kesalahan besar ketika mempercayakan dua ratus ribu pasukan kepada Li Xin hanya karena curiga dengan permintaan dari Wang Jian mengenai enam ratus ribu pasukan. Sikapnya itu lalu mengantarkan Qin menuju bencana besar yaitu kekalahan dalam invasi pertama ke Chu. Dengan menyadari kesalahan yang diperbuatnya, Ying Zheng tidak lantas menghukum Li Xin hanya karena gagal menjalankan tugasnya sebab Ying Zheng memahami bahwa kegagalan Li Xin juga merupakan kesalahan dirinya sebagai pemimpin tertinggi negri Qin. Bahkan sebagai seorang Raja, Ying Zheng rela mendatangi kediaman Wang Jian untuk meminta maaf atas kecurigaannya yang berlebihan dan meminta Wang Jian untuk memimpin pasukan Qin melawan serangan balik dari negri Chu. Bahkan atas keberhasilan Wang Jian sesuai tradisi Legalisme Ying Zheng menghargainya dengan memberikannya tanah garapan. Nasib Li Xin sendiri juga cukup baik. Li Xin tetap menjadi jendral dari negri Qin yang setia dan bahkan oleh Ying Zheng kemudian dikirim untuk menaklukan negri Qi yang menjadi musuh terakhir dari negri Qin berhasil membawa kemenangan. Dengan sikap yang adil dan bijaksana tersebut tidak heran bahwa Ying Zheng mampu menjadi Kaisar Pertama Cina (Qinshihuangdi) dan mengantarkan Cina untuk pertama kalinya ke dalam masa-masa persatuan dan kedamaian.

Sumber: Qin "Kaisar Terakota" (Michael Wicaksono)

Hittite


Pernahkah mendengar yang namanya bangsa Hittite atau kekaisaran Hittite? Hittite atau bangsa Het memang salah satu dari peradaban besar Dunia Timur di masa lalu yang kini banyak dilupakan oleh masyarakat umum. Hittite berasal dari cabang bangsa Indo-Eropa yang mendiami kawasan Anatolia (Asia Kecil yang sekarang merupakan wilayah Turki) jauh sebelum kedatangan Persia, Yunani dan Romawi. Bangsa Hittite termasuk bangsa yang memiliki kultur budaya tinggi dan mampu membangun peradaban besar. Bahkan dikatakan bangsa Hittite dimasa kejayaannya mampu membangun kekaisaran besar meliputi wilayah Asia Kecil hingga kawasan Levant (Lebanon, Suriah dan Palestina). Kekaisaran Hittite ini menjadi rival bagi Kekaisaran Mesir Kuno dalam memperebutkan dominasi atas kawasan Levant. Ibukota mereka adalah Hattusa.  Memang tidak banyak sumber yang bisa membantu mempelajari bangsa Hittite namun naskah-naskah kuno dari Mesir umumnya banyak mencatat perihal bangsa yang menjadi rival Kekaisaran Mesir Kuno itu.

Periode Hittite dibagi atas dua bagian yaitu Kerajaan Lama (Old Kingdom) yang berlangsung antara tahun 1700-1500 SM dan Kerajaan Baru (New Kingdom) yang kemudian dikenal sebagai Imperium Hittite yang berlangsung antara tahun 1400-1200 SM. Sejarah kerajaan lama Hittite dimulai dengan penyerangan dan penaklukan bangsa Hittite terhadap Kota Hattusa (yang kemudian menjadi ibukotanya). Hattusa sebelum dikuasai oleh bangsa Hittite merupakan sebuah kota yang dibangun oleh bangsa Hatti yang merupakan salah satu bangsa Anatolia Kuno sebelum bangsa Hittite. Sebelum diserang oleh bangsa Hittite, Hattusa sudah beberapa kali mendapatkan serangan dari Kekaisaran Akkadia dibawah Sargon dari Akkad kemudian oleh putranya Naram-Sin. Kemudian barulah bangsa Hittite dibawah Raja Anitta menaklukan kota tersebut. Saat itu Anitta merupakan Raja dari Kerajaan Kusara yang merupakan kerajaan Hittite yang bertetangga dengan bangsa Hatti. Raja Anitta membakar dan menghancurkan kota Hattusa sebelum akhirnya oleh Raja Hattusili I (juga dari Kerajaan Kusara), kota Hattusa dibangun kembali dan menjadi awal dari sejarah Kerajaan Hittite.

Hattusili I kemudian mempersatukan seluruh wilayah disekitarnya dan membangun Kerajaan Hittite Lama. Hattusili I lalu digantikan oleh Mursilli, cucunya sebagai Raja Hittite. Mursilli kemudian dibunuh oleh Hantili yang merupakan iparnya yang lalu menjadi Raja selama 30 tahun. Meski demikian pemerintahan Hantili tidak menghasilkan apapun. Hantili kemudian dibunuh oleh menantunya sendiri "Zidanta" yang kemudian memerintah kerajaan Hittite selama 10 tahun. Zidanta lalu dibunuh oleh anaknya sendiri "Ammuna" yang kemudian menjadi Raja Hittite selama 20 tahun. Namun Ammuna adalah Raja yang lebih buruk dari pendahulunya. Kerajaan Hittite mengalami kemunduran dan timbul berbagai pemberontakan. Meski demikian, Ammunna tidak melakukan apapun sama sekali. Ammuna wafat setelah memerintah selama 20 tahun, ia lalu digantikan oleh putranya Huzziya I yang berasal dari selirnya. Huzziya I membunuh keturunan lain dari Ammuna yang lebih tua darinya dan menjadi Raja Hittite. Ia memerintah selama 5 tahun namun pemerintahannya sama buruknya dengan pendahulunya. Huzziya I lalu digulingkan oleh Telpinu (anak termuda Amunna atau kemungkinan menantunya) yang kemudian menjadi Raja setelah mengasingkan Huzziya I. Telpinu adalah Raja terakhir dari Kerajaan Hittite Lama dan berusaha untuk mengembalikan kejayaan Hittite seperti sedia kala. Meski demikian, tidak banyak yang bisa ia lakukan. Telpinu dikenal dari The Edict of Telepinu, yang melukiskan mengenai kejayaan Kerajaan Hittite dimasa lalu dan kemundurannya hingga era pemerintahannya. Setelah Telpinu wafat, Hittite masuk dalam periode kegelapan yang mana tidak banyak diketahui sejarahnya.

Periode sejarah Hittite kemudian berlanjut pada era Kerajaan Baru (New Kingdom) dan disinilah masa keemasan Hittite dimulai dimana bangsa Hittite berhasil membangun kekaisaran yang sangat luas membentang dari Asia Kecil hingga daerah Levant (Suriah, Lebanon dan Palestina). Kekaisaran Hittite dimulai pada masa pemerintahan Suppiluliuma I. Suppiluliuma I, membangun kekaisaran Hittite dengan melakukan kampanye militer (penaklukan) maupun menjadikan kerajaan-kerajaan kecil disekitar Hittite sebagai vassalnya. Suppiluliuma I juga mengambil wilayah-wilayah vassal Mesir seperti kerajaan Mitanni dan memasukkannya ke dalam wilayah kekuasaannya sebagai negara vassal. Kekuatan dari Hittite bahkan membuat gentar pemerintahan Mesir dibawah Firaun Amenhotep III yang kemudian menarik dukungannya atas Kerajaan Mitanni. Ekspansi dari Kekaisaran Hittite juga kemudian memaksa Amenhotep III menarik mundur pula kekuatan Mesir dari Tushratta. Ketika Amenhotep III digantikan oleh Firaun Akhenten, Suppiluliuma I melanjutkan ekspansinya ke wilayah kekuasaan Mesir dan banyak mengambil alih negara-negara vassal Mesir lainnya seperti Byblos, dll. Barulah pada masa kekuasaan Firaun Tutankhamun, Mesir mencoba melawan ekspansi Hittite dengan mengirim Jendral Horemheb untuk menghentikan gerak maju pasukan Hittite. Meski demikian, Hittite berhasil meraih kemenangan atas pasukan Mesir karena kekuatan Hittite sudah berkembang lebih pesat dan mampu mengungguli militer Mesir. Setelah kematian Tutankhamun, istrinya, "Ankhsenamun" menulis surat kepada Suppiluliuma I dimana isinya meminta Suppiluliuma I untuk mengirimkan putranya untuk menikah dengannya. Alasan Ankhsenamun, adalah bahwa dirinya tidak dapat menikahi seorang pelayan, tidak mampu memerintah sendiri dan tidak memiliki anak laki-laki untuk menggantikannya. Suppiluliuma I menyanggupinya dan mengirim putranya Zananza ke Mesir namun Zananza kemudian dibunuh diperbatasan (kemungkinan Horemheb atau penasihat Ay). Kematian putranya membuat Suppiluliuma I murka dan memfokuskan kampanye militernya untuk menghancurkan Mesir. Kekaisaran Hittite kemudian melahap sisa-sisa wilayah Mesir di Levant dan melalui kemenangan besar-besaran itu Suppiluliuma I membawa banyak tahanan Mesir ke Hittite untuk dijadikan budak.

Suppiluliuma I kemudian wafat dikarenakan wabah yang menyebar di wilayah kekuasaannya (kemungkinan disebabkan oleh tahanan Mesir yang dibawanya dari peperangan yang menyebabkan wabah menyebar). Ia digantikan oleh Arnuwanda II, putranya yang kemudian juga wafat karena wabah tersebut. Arnuwanda II kemudian digantikan oleh adiknya Mursilli II. Awalnya Mursilli II dipandang tidak cocok mewarisi tahta karena dianggap masih terlalu muda dan tidak berpengalaman. Namun Mursilli II yang telah belajar banyak dari ayahnya (Suppiluliuma I) kemudian membuktikan bahwa anggapan orang-orang terhadap dirinya adalah salah. Mursilli II dengan cepat bertindak mengatasi wilayah-wilayah kekaisaran Hittite yang bergejolak seperti Kaska dan mengamankan perbatasan kekaisaran. Ia kemudian juga memperluas wilayah kekaisaran Hittite dan mengalahkan Kerajaan Babylonia Lama dalam sebuah pertempuran dikawasan Syria. Mursilli II memerintah selama 25 tahun yang kemudian digantikan oleh putranya "Muwatalli II". Pada masa pemerintahan Muwatalli II inilah, Kekaisaran Hittite yang wilayah kekuasaannya sudah mencapai perbatasan Mesir sendiri terlibat dalam pertempuran Kadesh dimana Mesir saat itu diperintah oleh Firaun Ramses II. Hatusilli III adik dari Muwatalli II kemudian menggantikannya sebagai Raja Hittite dan menandatangi Perjanjian Kadesh dan berdamai dengan Mesir pada tahun 1258 SM yang dikenal sebagai perjanjian perdamaian antar negara berkonflik pertama di dunia.

Hatusilli III kemudian wafat dan digantikan oleh Tudhaliya IV. Pada masa Tudhaliya IV inilah Bangsa Assyiria yang berbatasan dengan Kekaisaran Hittite mengalami kebangkitan. Assyiria yang kemudian mendirikan kekaisaran Assyria menginvasi wilayah Kekaisaran Hittite di kawasan Levant. Pada Pertempuran Nihriya sekiar tahun 1245 SM, pasukan Assyria mengalahkan pasukan Hittite dan sejak saat itu Kekaisaran Hittite mulai melemah dan dominasinya perlahan digantikan oleh Kekaisaran Assyiria. Selain pergerakan Kekaisaran Assyria yang semakin agresif, Kekaisaran Hittite juga terancam oleh serangan orang-orang Laut yang sering melakukan penjarahan di wilayah Hittite yang menyebabkan Kekaisaran Hittite semakin melemah. Tudhaliya IV kemudian digantikan oleh Suppiluliuma II, penguasa terakhir dari Kekaisaran Hittite. Suppiluliuma II terkenal karena pada masanya terjadi pertempuran laut pertama yang tercatat dalam sejarah dimana Angkatan Laut Hittite berhasil memperoleh kemenangan atas Cypriots. Namun tetap saja Suppiluliuma II tidak mampu mengembalikan kekuatan Kekaisaran Hittite kembali. Ancaman Kekaisaran Assyria, serangan orang-orang laut dan kemudian serangan suku Kaska turut memperlemah kekuatan Kekaisaran Hittite dimasa pemerintahan Suppiluliuma II.

Kekaisaran Hittite yang didirikan oleh Suppiluliuma I akhirnya mengalami keruntuhan pada tahun 1200 SM. Keruntuhan kekaisaran besar tersebut kemudian memecah Hittite dalam negara-negara kota yang kecil dan lemah. Pada tahun 1190 SM, suku Kaska menyerang dan membakar kota Hattusa yang merupakan bekas ibukota Kekaisaran Hittite. Kemudian pada abad ke 9 SM, Kekaisaran Assyria lalu menaklukan sisa-sisa dari bangsa Hittite dan menggabungkannya dalam Imperium Assyria. Kekaisaran Assyria kemudian menancapkan pengaruhnya berupa kebudayaan ditengah-tengah bangsa Hittite. Meski demikian, kebudayaan Hittite masih tetap bertahan hingga penaklukan Kekaisaran Akhemeniyah Persia. Oleh Cyrus Agung, kebudayaan Hittite dilestarikan dan dimasukkan ke dalam salah satu bagian dari kebudayaan yang dimiliki oleh Kekaisaran Persia. Kebudayaan Hittite baru benar-benar diambang kehancuran ketika Kekaisaran Makedonia dibawah Alexander Yang Agung menyerbu wilayah kekuasaan Kekaisaran Akhemeniyah Persia. Pada periode-periode berikutnya dibawah para penguasa Hellenistik yang menggantikan Kekaisaran Makedonia, kebudayaan Hittite mengalami kemunduran dan benar-benar musnah lalu digantikan oleh kebudayaan Hellenistik yang bertahan selama beberapa abad.

Sumber:

http://www.ancient.eu/hittite/

http://www.historyworld.net/wrldhis/PlainTextHistories.asp?historyid=ab66

Pemikiran Ayatullah Ruhullah Khomeini (Terkait Masyarakat)

Ruhullah Khomeini atau biasa dikenal sebagai Ayatullah atau Imam Khomeini, merupakan seorang ulama Iran dan seorang pemimpin besar Revolusi Islam Iran. Nama beliau dikenal luas setelah berhasil menggelorakan Revolusi di Iran yang menumbangkan kekuasaan Shah Reza Pahlevi yang korup dan Tiran. Namun Khomeini tidak hanya dikenal sebagai seorang revolusioner dan atau pemimpin revolusi semata. Layaknya para pemimpin revolusioner seperti Ir Soekarno, Benito Mussolini, Adolf Hitler, Vladimir Lenin, Josef Stalin, dsb,  Ayatullah Khomeini juga memiliki buah-buah pikiran yang mana menjadi dasar ideologis bagi pergerakannya. Salah satunya adalah pemikiran beliau mengenai masyarakat.

Ervand Abrahamic dalam bukunya "Khomeinism : Essay on Islamic Republic" menjelaskan mengenai pemikiran Ayatullah Khomeini salah satunya dalam memandang masyarakat. Dalam bukunya tersebut, Abrahamic membagi pemikiran Khomeini mengenai masyarakat ke dalam tiga tahapan. Ketiga Tahapan tersebut adalah :

1. Gradasi yang Harmonis (1943-1970)

Dalam tahapan ini, Ayatullah Khomeini memandang masyarakat sebagai sebuah hiearki yang didalamnya terdapat lapisan dan kelompok masyarakat (Qeshra), seperti ulama, santri, pegawai kantor, pedagang, buruh, dan lainnya. Masing-masing kelompok tersebut saling bergantung satu dengan lainnya untuk mempertahankan diri, memiliki dan menjalankan fungsinya. serta menghormati hak-haknya. Disini tugas utama pemerintah adalah melindungi Islam  dan memelihara keseimbangan antara strata sosial tersebut.

Starta tertinggi (Qeshr-e bala) dalam masyarakat menurut Ayatullah Khomeini adalah ulama. Ulama bertanggung jawab untuk berteriak lantang, mengkritik pemerintah yang tidak melakukan tugas utamanya. Secara singkat, Ayatullah Khomeini menggunakan metafora Aristotelian tentang tubuh manusia (human body) untuk menjelaskan masyarakat. Strata sosial yang beragam tersebut adalah bagian dari keseluruhan organik.

2. Dikotomi Antagonistik (1970-1982)

Pada tahap ini Ayatullah Khomeini menggunakan konsep dan bahasa yang radikal. Ayatullah Khomeini memandang masyarakat dibangun dari dua kelas antagonistik (thabaqat) yaitu: Penindas (mustakbirin) dan yang ditindas (mustadh'afin). Sebelumnya Ayatullah Khomeini menggunakan istilah mustadh'afin dalam pengertian Qur'anik yakni "yang lemah lembut", "rakyat biasa" dan "yang dilemahkan". Namun kemudian, Ayatullah Khomeini menggunakan istilah mustadh'afin dengan makna massa tertindas yang  marah. Istilah tersebut muncul dalam buku "Mustadh'afin-e Zamin" yang merupakan terjemahan dari buku "The Wretched of the Earth" karya Franz Fanon yangn mana buku tersebut diterjemahkan oleh Syari'ati dan murid-muridnya.

Terminologi mustakbirin identik dengan kelas atas (tabaqeh-e bala) yang meliputi penindas, pengeksploitasi, feodalis, kapitalis, para penghuni istana, koruptor, penikmat kemewahan, dan elite yang bermegah-megahan. Adapun mustadh'afin disebut sebagai kelas bawah (tabaqeh-e payin), yang mencakup orang-orang tertindas, yang dieksploitasi, kaum yang lemah, yang lapar, miskin, pengangguran, yang tak berpendidikan, tuna karya, dan tuna wisma.

Menurut Ayatullah Khomeini, para penindas selalu memiliki kecenderungan pada ketidakadilan, setani, dan membanguhn pemerintahan yang tiranik. Mereka melanggar dan melawan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW dan dalam konteks Iran, mereka adalah pendukung monarki dan Imperialisme Amerika Serikat. Adapun kaum tertindas adalah sebaliknya. Mereka berjuang untuk keadilan, pemerintahan Islam, mengikuti jejak langkah Nabi, dan bersedia mati demi revolusi Islam. Mereka yang memimpin dan membebaskan kaum tertindas adalah ulama. Pandangan dikotomis masyarakat Ayatullah Khomeini ini disebut dikotomi antagonistik.

3. Trikotomi Semi-Harmonis (1982-1989)

Tahapan ini adalah tahapan pasca revolusi. Karena itu, pandangan Ayatullah Khomeini tentang polaritas masyarakat pun bergeser. Abrahaiman menjelaskan bahwa dalam tahapan ini, Ayatullah Khomeini tidak lagi menggunakan dikotomi antagonistiknya, tetapi trikotomi. Masyarakat terdiri dari tiga kelas yaitu: kelas atas (tabaqeh-e bala) yang terdiri dari orang-orang yang secara ekonomi sejahtera dan mapan, kelas menengah (tabaqeh-e motavasset) yang terdiri dari ulama, intelektual dan pedangang serta yang terakhir adalah kelas bawah (tabaqeh-e payin) yang terdiri dari buruh dan orang-orang yang secara ekonomi masih terjerat kemiskinan. Dalam konteks pembagian kelas ini, Ayatullah Khomeini menekankan trikotomi  semi harmonis yang mana di dalamnya, kelas menengah memiliki peranan yang penting.

Menurut Ayatullah Khomeini, kelas menengah, terutama kaum bazari (pedagang) berperan besar bagi perubahan Iran sejak masa pra revolusi hingga pasca revolusil. Kaum Bazaris berperan dalam mengkritik penguasa tiranik Pahlevi, bahkan menyumbangkam para martirnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ayatullah Khomeini, "Kalian memiliki kontribusi besar dalam Revolusi Islam, jika kaum pedagang tidak mendukung maka revolusi tidak akan menang." Ayatullah Khomeini juga mengisahkan mengenai perjuangan kaum Bazaris dalam melawan Tirani, sebagaimana diungkapkan beliau, "Mirza (Ayatullah Shirazi) seorang marja dari desa di Irak. Ia tidak bisa mengerahkan para santrinya untuk melawan imperialis. Ia juga tidak mengerahkan ulama kota untuk melawan rezim kotor. Tapi kaum pedaganglah yang mendukung beliau sebagai marjanya. Kita menyaksikan pasar diliburkan dalam waktu yang panjang sebagai bentuk protes." 

Selain itu menurut Ayatullah Khomeini, kaum bazaris juga bersanding dengan kelas bawah. Sebab kaum bazaris dan kelas menengah lainnya memiliki kepentingan yang sama dengan kelas bawah yaitu melawan Imperialisme dan kelas atas lama (pendukung tirani). Istilah yang bisa digunakan untuk menyebut pembagian kelas masyarakat oleh Ayatullah Khomeini ini adalah "trikotomi semiharmonis".

Demikianlah sekiranya salah satu buah pemikiran Ayatullah Khomeini yang saya rasa cukup menarik untuk dipahami. Pemikiran Ayatullah Khomeini ini sejatinya merupakan salah satu dari sekian banyak pemikiran sosial politik dari Dunia Timur yang sayangnya juga jarang mendapatkan perhatian. Dengan mempelajari dan memahami pemikiran beliau setidaknya kita mampu menemukan kembali ide-ide pemikir Timur dan perlahan menghapuskan monopoli Barat atas pemikiran/gagasan. Karenanya sebagaimana yang pernah saya ungkapkan, tidak berlebihan rasanya apabila kita menyebut Ayatullah Ruhullah Khomeini tidak hanya sekedar seorang ulama dan pemimpin besar revolusi Iran namun juga sebagai seorang pemikir yang juga melahirkan gagasan-gagasan menarik sebagai landasan bagi pergerakannya dan sebagai salah satu sumbangannya terhadap dunia umumnya dan Dunia Timur Khususnya.


Sumber:

Fauziana, Rahma Diyah dan Izznuddin Irsam Mujib. 2009. "Khomeini dan Revolusi Iran". Narasi: Yogyakarta

Krisis Balkan dan Perang Dunia I

Perang Dunia I (1914-1918) yang merupakan konflik global pertama di dunia sebenarnya bermula dari konflik berkepanjangan di wilayah Eropa tepatnya di kawasan Balkan. Balkan pada masa itu merupakan kekuasaan dari beberapa negara yang saling berebut pengaruh yaitu Kekaisaran Ottoman yang sudah menua dan kekuatan-kekuatan baru seperti Bulgaria, Serbia, Montenegro dan Yunani. Kekaisaran Ottoman merupakan pemain lama di kawasan Balkan. Balkan sebelumnya merupakan daerah kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur yang kemudian berhasil direbut oleh Kekaisaran Ottoman dan menjadi gerbang invasi-invasi Ottoman berikutnya terhadap negara-negara Eropa seperti Polandia dan juga Kekaisaran Romawi Suci (Pertempuran Vienna). Setelah cukup lama berkuasa di Balkan, kekaisaran Ottoman mulai mengalami kemunduran yang mana kemunduran itu kemudian memunculkan kekuatan-kekuatan baru sebagai pesaing pengaruh Ottoman di wilayah Balkan. Khususnya setelah wilayah-wilayah Ottoman di Balkan memerdekakan diri seperti Serbia dan Yunani melalui Revolusi kemerdekaan atau Bulgaria melalui intervensi kekaisaran Rusia.
Untuk menantang pengaruh Ottoman yang walau sudah melemah namun tetap merupakan kekuatan besar, negara-negara bekas wilayah Ottoman di Balkan membentuk kekuatan aliansi yaitu Liga Balkan beranggotakan Bulgaria, Serbia, Yunani dan Montenegro. Keberadaan Liga Balkan dengan cepat menjadi tantangan bagi sisa-sisa pengaruh Ottoman di kawasan Balkan. Ketegangan antara Liga Balkan dan Ottoman ditambah dengan dukungan Rusia terhadap Liga Balkan (Rusia merupakan rival Kekaisaran Ottoman) kemudian meletupkan Perang Balkan I pada tahun 1912. Perang dibuka dengan pernyataan perang dari Montenegro pada tanggal 8 Juli 1912 yang diikuti oleh anggota Liga Balkan lainnya 10 hari kemudian. Dalam perang ini, pasukan Ottoman menderita kekalahan besar terhadap Liga Balkan. Bulgaria berhasil mengepung Adrianople dan bergerak ke Konstantinopel (ibukota Ottoman) sementara Serbia memasuki Makedonia dan bergabung dengan pasukan Montenegro menuju Skopje serta berhasil merebut Albania dari tangan Ottoman. Tanggal 3 Desember 1912, perundingan perdamaian hendak diselenggarakan di London, namun kudeta dari kaum Turki Muda kemudian menyebabkan perang semakin berlarut-larut, namun sudah jelas Ottoman berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Perang Balkan I kemudian diakhiri melalui perjanjian yang ditandatangani di London pada tanggal 30 Mei 1913 yang hasilnya adalah kejatuhan sebagian besar wilayah Ottoman di Balkan kepada Liga Balkan selaku pemenang perang. Albania mendapatkan kemerdekaan, Makedonia dibagi antar anggota Liga Balkan.
Meski demikian, hasil dari Perang Balkan I tidak memuaskan pihak-pihak yang terlibat dan kemudian meletupkan Perang Balkan II pada Juni 1913. Dalam perang ini posisi aliansi Balkan sudah terpecah belah. Bulgaria merasa tidak puas dengan hasil yang diterima dari Perang Balkan I kemudian meletupkan Perang Balkan II. Sebelumnya Bulgaria membangun aliansi baru dengan Rumania. Aliansi ini dibentuk karena Rumania bersikap netral selama Perang Balkan I dan dipandang tidak mengancam kepentingan Bulgaria di wilayah Balkan. Yunani dan Serbia merasa tidak puas atas tuntutan Bulgaria yang meminta daerah-daerah strategis di kawasan Balkan. Kedua negara tersebut kemudian meninggalkan Albania dan bersiap menghadapi kemungkinan ancaman Bulgaria. Sementara itu Rusia sebagai penyokong Liga Balkan melawan Ottoman mulai dihadapkan pada situasi yang cukup sulit khususnya pertentangan antara Serbia dan Bulgaria. Rusia berusaha agar sekutu-sekutu slavianya tidak saling bertentangan (kemungkinan untuk tujuan Pan Slavianisme) mencoba untuk meredakan ketegangan antara Serbia dan Bulgaria namun kemajuan yang dilakukan Rusia dirasa sangat lambat. Api peperangan kemudian terlanjur berkobar ketika Bulgaria secara tiba-tiba menyerbu posisi pasukan Serbia dan Yunani. Perang Balkan II pecah.
Peperangan antara Bulgaria melawan pasukan Serbia-Yunani segera diikuti oleh negara-negara lain di sekitarnya. Rumania segera memobilisasi pasukan dan memasuki arena perang begitu pula Ottoman yang meskipun mengalami kekalahan dalam Perang Balkan I namun kembali ikut serta dalam Perang Balkan II. Bulgaria sendiri pada akhirnya mendapati negaranya berperang dengan semua pihak yang terlibat meninggalkannya sendirian tanpa aliansi. Rusia sendiri bersikap tidak membantu Bulgaria yang kemudian membuat Bulgaria kecewa (alasan utama Bulgaria memilih bergabung dengan Blok Sentral dalam Perang Dunia I). Rumania sendiri yang sebelumnya mengikat perjanjian dengan Bulgaria kemudian berbalik melawan Bulgaria setelah tuntutannya atas kawasan Dorbuja sebuah kawasan di Bulgaria Utara sebagai ganti atas penaklukan Bulgaria dalam Perang Balkan I. Rusia sendiri kemudian lebih memilih untuk memihak Rumania dengan harapan Rumania mau bergabung dengan Tripple Entente (persekutuan Prancis, Rusia dan Inggris). Rusia juga kemudian menjadikan Serbia sebagai negara protektoratnya dan meninggalkan Bulgaria berperang sendirian melawan Serbia, Yunani dan Rumania yang ditambah dengan masuknya Ottoman yang ingin merebut kembali Adrianople dari tangan Bulgaria.
Dikepung dari segala sisi dan ditinggalkan oleh satu-satunya negara besar pendukungnya (Rusia), Bulgaria akhirnya mengalami kekalahan telak dalam Perang Balkan II. Perang Balkan II kemudian diakhiri melalui perjanjian Bucharest 1913. Namun perjanjian Bucharest ternyata justru tidak membawa perdamaian di kawasan Balkan. Sekalipun Perang Balkan II sudah berakhir namun ketegangan di kawasan Balkan diikuti dengan intervensi dari 2 kutub politik dunia (Tripple Alliance dan Tripple Entente) membuat perdamaian semakin menjauh. Bulgaria sendiri yang kemudian merasa ditinggalkan oleh Rusia akhirnya mencari perlindungan dan pertolongan dari salah satu kekuatan dunia saat itu yaitu Kekaisaran Austria-Hungaria, anggota Tripple Alliance dan sekutu terdekat Kekaisaran Jerman (Reich Kedua). Austria Hungaria sendiri sejak pecahnya Perang Balkan berusaha untuk menanamkan pengaruhnya di kawasan Balkan dimulai dengan campur tangannya membentuk negara Albania merdeka yang mana tindakan tersebut dipandang Serbia sebagai tantangan bagi pengaruhnya. Serbia sendiri setelah mengalahkan Bulgaria memandang masuknya Austria Hungaria dan dukungannya terhadap Bulgaria menjadi halangan bagi cita-cita Serbia Raya dan dengan dukungan Rusia kemudian semakin memusuhi Austria Hungaria.
Bibit-bibit peperangan baru mulai bersemi dan akhirnya akan menyeret dunia dari sekedar konflik di satu kawasan menjadi pertentangan yang bersifat global. Perang Dunia I yang berlangsung selama kurang lebih 4 tahun adalah buah yang dihasilkan dari pertentangan politik antara negara-negara kawasan dan negara-negara kuat di kawasa Balkan. Austria Hungaria dan Rusia bersama Serbia dan Bulgaria yang nantinya diikuti oleh Jerman, Kekaisaran Ottoman, Inggris, Prancis, Italia dan bahkan juga Jepang (teater koloni Jerman di Asia-Pasifik) yang menjadikan Balkan sebagai trigger dari konflik global pertama dalam sejarah umat manusia.