Sabtu, 08 April 2017

Pemikiran Ayatullah Ruhullah Khomeini (Terkait Masyarakat)

Ruhullah Khomeini atau biasa dikenal sebagai Ayatullah atau Imam Khomeini, merupakan seorang ulama Iran dan seorang pemimpin besar Revolusi Islam Iran. Nama beliau dikenal luas setelah berhasil menggelorakan Revolusi di Iran yang menumbangkan kekuasaan Shah Reza Pahlevi yang korup dan Tiran. Namun Khomeini tidak hanya dikenal sebagai seorang revolusioner dan atau pemimpin revolusi semata. Layaknya para pemimpin revolusioner seperti Ir Soekarno, Benito Mussolini, Adolf Hitler, Vladimir Lenin, Josef Stalin, dsb,  Ayatullah Khomeini juga memiliki buah-buah pikiran yang mana menjadi dasar ideologis bagi pergerakannya. Salah satunya adalah pemikiran beliau mengenai masyarakat.

Ervand Abrahamic dalam bukunya "Khomeinism : Essay on Islamic Republic" menjelaskan mengenai pemikiran Ayatullah Khomeini salah satunya dalam memandang masyarakat. Dalam bukunya tersebut, Abrahamic membagi pemikiran Khomeini mengenai masyarakat ke dalam tiga tahapan. Ketiga Tahapan tersebut adalah :

1. Gradasi yang Harmonis (1943-1970)

Dalam tahapan ini, Ayatullah Khomeini memandang masyarakat sebagai sebuah hiearki yang didalamnya terdapat lapisan dan kelompok masyarakat (Qeshra), seperti ulama, santri, pegawai kantor, pedagang, buruh, dan lainnya. Masing-masing kelompok tersebut saling bergantung satu dengan lainnya untuk mempertahankan diri, memiliki dan menjalankan fungsinya. serta menghormati hak-haknya. Disini tugas utama pemerintah adalah melindungi Islam  dan memelihara keseimbangan antara strata sosial tersebut.

Starta tertinggi (Qeshr-e bala) dalam masyarakat menurut Ayatullah Khomeini adalah ulama. Ulama bertanggung jawab untuk berteriak lantang, mengkritik pemerintah yang tidak melakukan tugas utamanya. Secara singkat, Ayatullah Khomeini menggunakan metafora Aristotelian tentang tubuh manusia (human body) untuk menjelaskan masyarakat. Strata sosial yang beragam tersebut adalah bagian dari keseluruhan organik.

2. Dikotomi Antagonistik (1970-1982)

Pada tahap ini Ayatullah Khomeini menggunakan konsep dan bahasa yang radikal. Ayatullah Khomeini memandang masyarakat dibangun dari dua kelas antagonistik (thabaqat) yaitu: Penindas (mustakbirin) dan yang ditindas (mustadh'afin). Sebelumnya Ayatullah Khomeini menggunakan istilah mustadh'afin dalam pengertian Qur'anik yakni "yang lemah lembut", "rakyat biasa" dan "yang dilemahkan". Namun kemudian, Ayatullah Khomeini menggunakan istilah mustadh'afin dengan makna massa tertindas yang  marah. Istilah tersebut muncul dalam buku "Mustadh'afin-e Zamin" yang merupakan terjemahan dari buku "The Wretched of the Earth" karya Franz Fanon yangn mana buku tersebut diterjemahkan oleh Syari'ati dan murid-muridnya.

Terminologi mustakbirin identik dengan kelas atas (tabaqeh-e bala) yang meliputi penindas, pengeksploitasi, feodalis, kapitalis, para penghuni istana, koruptor, penikmat kemewahan, dan elite yang bermegah-megahan. Adapun mustadh'afin disebut sebagai kelas bawah (tabaqeh-e payin), yang mencakup orang-orang tertindas, yang dieksploitasi, kaum yang lemah, yang lapar, miskin, pengangguran, yang tak berpendidikan, tuna karya, dan tuna wisma.

Menurut Ayatullah Khomeini, para penindas selalu memiliki kecenderungan pada ketidakadilan, setani, dan membanguhn pemerintahan yang tiranik. Mereka melanggar dan melawan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW dan dalam konteks Iran, mereka adalah pendukung monarki dan Imperialisme Amerika Serikat. Adapun kaum tertindas adalah sebaliknya. Mereka berjuang untuk keadilan, pemerintahan Islam, mengikuti jejak langkah Nabi, dan bersedia mati demi revolusi Islam. Mereka yang memimpin dan membebaskan kaum tertindas adalah ulama. Pandangan dikotomis masyarakat Ayatullah Khomeini ini disebut dikotomi antagonistik.

3. Trikotomi Semi-Harmonis (1982-1989)

Tahapan ini adalah tahapan pasca revolusi. Karena itu, pandangan Ayatullah Khomeini tentang polaritas masyarakat pun bergeser. Abrahaiman menjelaskan bahwa dalam tahapan ini, Ayatullah Khomeini tidak lagi menggunakan dikotomi antagonistiknya, tetapi trikotomi. Masyarakat terdiri dari tiga kelas yaitu: kelas atas (tabaqeh-e bala) yang terdiri dari orang-orang yang secara ekonomi sejahtera dan mapan, kelas menengah (tabaqeh-e motavasset) yang terdiri dari ulama, intelektual dan pedangang serta yang terakhir adalah kelas bawah (tabaqeh-e payin) yang terdiri dari buruh dan orang-orang yang secara ekonomi masih terjerat kemiskinan. Dalam konteks pembagian kelas ini, Ayatullah Khomeini menekankan trikotomi  semi harmonis yang mana di dalamnya, kelas menengah memiliki peranan yang penting.

Menurut Ayatullah Khomeini, kelas menengah, terutama kaum bazari (pedagang) berperan besar bagi perubahan Iran sejak masa pra revolusi hingga pasca revolusil. Kaum Bazaris berperan dalam mengkritik penguasa tiranik Pahlevi, bahkan menyumbangkam para martirnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ayatullah Khomeini, "Kalian memiliki kontribusi besar dalam Revolusi Islam, jika kaum pedagang tidak mendukung maka revolusi tidak akan menang." Ayatullah Khomeini juga mengisahkan mengenai perjuangan kaum Bazaris dalam melawan Tirani, sebagaimana diungkapkan beliau, "Mirza (Ayatullah Shirazi) seorang marja dari desa di Irak. Ia tidak bisa mengerahkan para santrinya untuk melawan imperialis. Ia juga tidak mengerahkan ulama kota untuk melawan rezim kotor. Tapi kaum pedaganglah yang mendukung beliau sebagai marjanya. Kita menyaksikan pasar diliburkan dalam waktu yang panjang sebagai bentuk protes." 

Selain itu menurut Ayatullah Khomeini, kaum bazaris juga bersanding dengan kelas bawah. Sebab kaum bazaris dan kelas menengah lainnya memiliki kepentingan yang sama dengan kelas bawah yaitu melawan Imperialisme dan kelas atas lama (pendukung tirani). Istilah yang bisa digunakan untuk menyebut pembagian kelas masyarakat oleh Ayatullah Khomeini ini adalah "trikotomi semiharmonis".

Demikianlah sekiranya salah satu buah pemikiran Ayatullah Khomeini yang saya rasa cukup menarik untuk dipahami. Pemikiran Ayatullah Khomeini ini sejatinya merupakan salah satu dari sekian banyak pemikiran sosial politik dari Dunia Timur yang sayangnya juga jarang mendapatkan perhatian. Dengan mempelajari dan memahami pemikiran beliau setidaknya kita mampu menemukan kembali ide-ide pemikir Timur dan perlahan menghapuskan monopoli Barat atas pemikiran/gagasan. Karenanya sebagaimana yang pernah saya ungkapkan, tidak berlebihan rasanya apabila kita menyebut Ayatullah Ruhullah Khomeini tidak hanya sekedar seorang ulama dan pemimpin besar revolusi Iran namun juga sebagai seorang pemikir yang juga melahirkan gagasan-gagasan menarik sebagai landasan bagi pergerakannya dan sebagai salah satu sumbangannya terhadap dunia umumnya dan Dunia Timur Khususnya.


Sumber:

Fauziana, Rahma Diyah dan Izznuddin Irsam Mujib. 2009. "Khomeini dan Revolusi Iran". Narasi: Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar