Ruhullah Khomeini atau biasa dikenal sebagai Ayatullah atau Imam
Khomeini, merupakan seorang ulama Iran dan seorang pemimpin besar
Revolusi Islam Iran. Nama beliau dikenal luas setelah berhasil
menggelorakan Revolusi di Iran yang menumbangkan kekuasaan Shah Reza
Pahlevi yang korup dan Tiran. Namun Khomeini tidak hanya dikenal sebagai
seorang revolusioner dan atau pemimpin revolusi semata. Layaknya para
pemimpin revolusioner seperti Ir Soekarno, Benito Mussolini, Adolf
Hitler, Vladimir Lenin, Josef Stalin, dsb, Ayatullah Khomeini juga
memiliki buah-buah pikiran yang mana menjadi dasar ideologis bagi
pergerakannya. Salah satunya adalah pemikiran beliau mengenai
masyarakat.
Ervand Abrahamic dalam bukunya "Khomeinism :
Essay on Islamic Republic" menjelaskan mengenai pemikiran Ayatullah
Khomeini salah satunya dalam memandang masyarakat. Dalam bukunya
tersebut, Abrahamic membagi pemikiran Khomeini mengenai masyarakat ke
dalam tiga tahapan. Ketiga Tahapan tersebut adalah :
1. Gradasi yang Harmonis (1943-1970)
Dalam
tahapan ini, Ayatullah Khomeini memandang masyarakat sebagai sebuah
hiearki yang didalamnya terdapat lapisan dan kelompok masyarakat (Qeshra),
seperti ulama, santri, pegawai kantor, pedagang, buruh, dan lainnya.
Masing-masing kelompok tersebut saling bergantung satu dengan lainnya
untuk mempertahankan diri, memiliki dan menjalankan fungsinya. serta
menghormati hak-haknya. Disini tugas utama pemerintah adalah melindungi
Islam dan memelihara keseimbangan antara strata sosial tersebut.
Starta tertinggi (Qeshr-e bala)
dalam masyarakat menurut Ayatullah Khomeini adalah ulama. Ulama
bertanggung jawab untuk berteriak lantang, mengkritik pemerintah yang
tidak melakukan tugas utamanya. Secara singkat, Ayatullah Khomeini
menggunakan metafora Aristotelian tentang tubuh manusia (human body)
untuk menjelaskan masyarakat. Strata sosial yang beragam tersebut adalah
bagian dari keseluruhan organik.
2. Dikotomi Antagonistik (1970-1982)
Pada
tahap ini Ayatullah Khomeini menggunakan konsep dan bahasa yang
radikal. Ayatullah Khomeini memandang masyarakat dibangun dari dua kelas
antagonistik (thabaqat) yaitu: Penindas (mustakbirin) dan yang ditindas (mustadh'afin). Sebelumnya Ayatullah Khomeini menggunakan istilah mustadh'afin
dalam pengertian Qur'anik yakni "yang lemah lembut", "rakyat biasa" dan
"yang dilemahkan". Namun kemudian, Ayatullah Khomeini menggunakan
istilah mustadh'afin dengan makna massa tertindas yang marah.
Istilah tersebut muncul dalam buku "Mustadh'afin-e Zamin" yang merupakan
terjemahan dari buku "The Wretched of the Earth" karya Franz Fanon
yangn mana buku tersebut diterjemahkan oleh Syari'ati dan
murid-muridnya.
Terminologi mustakbirin identik dengan kelas atas (tabaqeh-e bala)
yang meliputi penindas, pengeksploitasi, feodalis, kapitalis, para
penghuni istana, koruptor, penikmat kemewahan, dan elite yang
bermegah-megahan. Adapun mustadh'afin disebut sebagai kelas bawah (tabaqeh-e payin),
yang mencakup orang-orang tertindas, yang dieksploitasi, kaum yang
lemah, yang lapar, miskin, pengangguran, yang tak berpendidikan, tuna
karya, dan tuna wisma.
Menurut Ayatullah Khomeini, para penindas selalu memiliki kecenderungan pada ketidakadilan, setani,
dan membanguhn pemerintahan yang tiranik. Mereka melanggar dan melawan
ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW dan dalam konteks Iran, mereka adalah
pendukung monarki dan Imperialisme Amerika Serikat. Adapun kaum
tertindas adalah sebaliknya. Mereka berjuang untuk keadilan,
pemerintahan Islam, mengikuti jejak langkah Nabi, dan bersedia mati demi
revolusi Islam. Mereka yang memimpin dan membebaskan kaum tertindas
adalah ulama. Pandangan dikotomis masyarakat Ayatullah Khomeini ini
disebut dikotomi antagonistik.
3. Trikotomi Semi-Harmonis (1982-1989)
Tahapan
ini adalah tahapan pasca revolusi. Karena itu, pandangan Ayatullah
Khomeini tentang polaritas masyarakat pun bergeser. Abrahaiman
menjelaskan bahwa dalam tahapan ini, Ayatullah Khomeini tidak lagi
menggunakan dikotomi antagonistiknya, tetapi trikotomi. Masyarakat
terdiri dari tiga kelas yaitu: kelas atas (tabaqeh-e bala) yang terdiri dari orang-orang yang secara ekonomi sejahtera dan mapan, kelas menengah (tabaqeh-e motavasset) yang terdiri dari ulama, intelektual dan pedangang serta yang terakhir adalah kelas bawah (tabaqeh-e payin)
yang terdiri dari buruh dan orang-orang yang secara ekonomi masih
terjerat kemiskinan. Dalam konteks pembagian kelas ini, Ayatullah
Khomeini menekankan trikotomi semi harmonis yang mana di dalamnya,
kelas menengah memiliki peranan yang penting.
Menurut
Ayatullah Khomeini, kelas menengah, terutama kaum bazari (pedagang)
berperan besar bagi perubahan Iran sejak masa pra revolusi hingga pasca
revolusil. Kaum Bazaris berperan dalam mengkritik penguasa tiranik
Pahlevi, bahkan menyumbangkam para martirnya. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Ayatullah Khomeini, "Kalian memiliki kontribusi besar
dalam Revolusi Islam, jika kaum pedagang tidak mendukung maka revolusi
tidak akan menang." Ayatullah Khomeini juga mengisahkan mengenai
perjuangan kaum Bazaris dalam melawan Tirani, sebagaimana diungkapkan
beliau, "Mirza (Ayatullah Shirazi) seorang marja dari desa di Irak. Ia
tidak bisa mengerahkan para santrinya untuk melawan imperialis. Ia juga
tidak mengerahkan ulama kota untuk melawan rezim kotor. Tapi kaum
pedaganglah yang mendukung beliau sebagai marjanya. Kita menyaksikan
pasar diliburkan dalam waktu yang panjang sebagai bentuk protes."
Selain
itu menurut Ayatullah Khomeini, kaum bazaris juga bersanding dengan
kelas bawah. Sebab kaum bazaris dan kelas menengah lainnya memiliki
kepentingan yang sama dengan kelas bawah yaitu melawan Imperialisme dan
kelas atas lama (pendukung tirani). Istilah yang bisa digunakan untuk
menyebut pembagian kelas masyarakat oleh Ayatullah Khomeini ini adalah
"trikotomi semiharmonis".
Demikianlah sekiranya salah satu
buah pemikiran Ayatullah Khomeini yang saya rasa cukup menarik untuk
dipahami. Pemikiran Ayatullah Khomeini ini sejatinya merupakan salah
satu dari sekian banyak pemikiran sosial politik dari Dunia Timur yang
sayangnya juga jarang mendapatkan perhatian. Dengan mempelajari dan
memahami pemikiran beliau setidaknya kita mampu menemukan kembali
ide-ide pemikir Timur dan perlahan menghapuskan monopoli Barat atas
pemikiran/gagasan. Karenanya sebagaimana yang pernah saya ungkapkan,
tidak berlebihan rasanya apabila kita menyebut Ayatullah Ruhullah
Khomeini tidak hanya sekedar seorang ulama dan pemimpin besar revolusi
Iran namun juga sebagai seorang pemikir yang juga melahirkan
gagasan-gagasan menarik sebagai landasan bagi pergerakannya dan sebagai
salah satu sumbangannya terhadap dunia umumnya dan Dunia Timur
Khususnya.
Sumber:
Fauziana, Rahma Diyah dan Izznuddin Irsam Mujib. 2009. "Khomeini dan Revolusi Iran". Narasi: Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar